![]() |
Cinta adalah sesuatu benih yang hidup dalam hati dan tumbuh muncul ke permukaan
dalam bentuk ekspresi kongkret dan perilaku riil. Cinta memerlukan ekspresi
tersendiri dan esensi syariat Salam dalam Islam lebih dari sekadar simbol
formalitas verbal tetapi sebuah ekspresi tulus yang lahir dari perasaan cinta,
kasih sayang, doa, harapan, suka cita, motivasi, kepedulian, perhatian,
penghargaan dan ikatan batin yang tulus dalam berbagai bentuknya.
Alice Gray memberikan tips mengawetkan hubungan romantis
pasangan dalam bukunya List To Live By For Every Married Couple (2002) yaitu
dengan memelihara komunikasi efektif melalui berbagai ekspresi perasaan,
sukacita, dam keprihatinan yang terdalam. Menurutnya, pernikahan itu dibangun
di atas ekspresi-ekspresi kecil penuh kasih sayang dengan menekankan pentingnya
ucapan-ucapan selamat dalam berbagai pengalaman penting dan momentum berarti
(munasabat) serta sebaliknya mengabadikan kartu ucapan selamat yang terkirim
untuk pernikahan, ulang tahun, ulang tahun pernikahan ataupun ucapan spesial
apapun merupakan hal yang bermanfaat sebagaimana saran Angela Dean Lund,
konsultan kenangan-kenangan kreatif.
Salam merupakan salah satu bentuk pemberian motivasi yang
sangat berarti dalam sebuah hubungan agar dapat meningkatkan semangat dalam
vitalitas kehidupan fisik material maupun psikologis spiritual, maka karena
cinta memerlukan motivasi yang intens dan kontinyu agar tercipta hubungan yang
harmonis dan bergairah sepanjang musim, seperti diungkapkan oleh John Gray
dalam Men are From Mars, Women are from Venus (1992) sehingga memerlukan
manajemen salam dan seni memahami entry point serta titik-titik sensitif serta
sentimentil untuk mengeratkan hati pasangan ataupun orang lain (ta’liful
qulub). Namun demikian, patut disayangkan, banyak kalangan umat dan aktivis
dakwah yang melewatkan dan menyiakan entry point ini membina dan mengeratkan
hubungan dengan orang-orang dekatnya serta lingkungan pergaulannya sehingga
tercipta hubungan yang loyal, bergairah dan indah.
Sebagai seorang muslim, adalah telah menjadi sebuah
keharusan syar’i dan keniscayaan pergaulan untuk memahami manajemen salam
dengan saling membudayakan salam secara positif dan efektif. Banyak sekali
dalil syar’i, baik dari Al-Qur’an maupun Al-Hadits yang menganjurkan agar kita
selalu memberi salam kepada siapa pun termasuk yang kita belum kenal apalagi
orang-orang dekat yang telah lama kita kenal. (QS.24:27)
Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash r.a. bahwasanya
seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW, apakah Islam yang paling baik
itu? beliau menjawab: Engkau memberi makan dan memberi (mengucapkan) salam
kepada orang yang kamu kenal dan orang yang belum kamu kenal.” (HR. Muttafaqun
‘Alaih )
Rasulullah SAW telah mewasiatkan kepada umat Islam untuk
memelihara tujuh perkara yaitu; menjenguk orang sakit, mengikuti jenazah,
mendoakan orang yang bersin, membantu yang lemah, menolong yang dizhalimi
orang, memberi salam, mengabulkan permintaan seseorang (memohon dengan sumpah
kepada Allah). (HR. Muttafaqun ‘Alaih)
Imam Ibnu Hibban (w.354 H.) dalam Raudhatul ‘Uqala wa
Nuzhatul Fudhala menegaskan bahwa Islam sangat menganjurkan budaya Salam pada
hubungan sosial secara umum, karena mengandung hikmah dapat mengikis rasa
kebencian, kemarahan dan mencerahkan pergaulan sebagaimana riwayat hadits Nabi
saw yang mengatakan bahwa Salam merupakan salah satu nama agung Allah yang
dihamparkan di muka bumi, maka tebarkanlah Salam di antara kalian.
Manajemen salam secara baik akan melatih seseorang dapat
mengoptimalkan upaya membudayakan salam yang merupakan salah satu cara untuk
memperkuat persaudaraan khususnya antara sesama muslim, menambah perasaan
saling cinta antar sesama orang beriman. Rasulullah SAW dalam sebuah hadits
menegaskan bahwa tidak akan masuk surga sehingga orang telah beriman, dan tidak
beriman sehingga saling mencintai cara efektif untuk dapat saling mencintai
adalah dengan menyebarkan salam. ( HR. Muslim )
Dale Carnegie dalam How to Win Friends and Influence People
(1979) mengajarkan bagaimana cara memelihara dan mengeratkan hubungan sosial
khususnya ikatan mahligai perkawinan di antara dengan saling memberi salam
berupa ucapan selamat dan pujian yang ikhlas serta memberikan
perhatian-perhatian pada hal-hal kecil yang menarik pasangan seperti ketika
hari ulang tahun peristiwa pernikahan dan kelahiran.
Menghidupkan budaya salam secara kreatif dan inisiatif bagi
pribadi pendamba keshalihan akan tumbuh secara mandiri karena keyakinan bahwa
salam merupakan kebiasaan tersebut termasuk sebuah ibadah yang dapat
menghantarkan kepada surga sebagaimana pesan Rasulullah SAW dalam sabdanya:
“Hai manusia, sebarkanlah salam, berdermalah makanan, hubungkanlah tali
persaudaraan (silaturahim), shalat malamlah pada saat orang-orang sedang tidur
lelap niscaya kalian akan masuk surga dengan selamat. ( HR. Ahmad, Tirmidzi,
Ibnu Majah)
Tradisi Salam lahir dan hidup sepanjang sejarah hubungan
manusia berlangsung sejak zaman Nabi Adam as. Dalam sebuah hadits diriwayatkan
bahwa ketika Allah SWT telah selesai menciptakan Adam as, maka Allah SWT
memerintahkan kepada Adam as. untuk menemui dan memberi Salam kepada segolongan
malaikat yang sedang duduk menunggu untuk kemudian Adam as diminta mendengarkan
apa yang mereka ucapkan sebagai penghormatan kepadanya. Salam yang diucapkan
para malaikat kepada Adam as. adalah salam hormat kepadamu dan salam hormat
kepada keturunanmu (yang beriman). Maka Adam as berkata: “Assalamu’alaikum” dan
mereka menjawab: “Assalamu’alaikum Warahmatullah”. ( HR. Bukhari )
Pada dasarnya, hukum memberi salam dan menjawabnya adalah
berbeda. Memberi salam adalah sebuah sunnah yang dianjurkan sedangkan
menjawabnya adalah wajib sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Abdil Barr bahwa
para ulama sepakat tentang hal ini. Ketentuan syariat ini menunjukkan bahwa
Islam sangat memperhatikan pemeliharaan hubungan dengan mengajarkan pentingnya
menghargai ekspresi positif orang lain berupa ucapan selamat dengan cara
membalasnya dengan ucapan salam senada atau lebih baik lagi sebagaimana hadits
tentang permulaan salam di atas sehingga para ulama sepakat bahwa menambahkan
kalimat dalam menjawab salam adalah sesuatu yang dianjurkan memberikan balasan
salam yang lebih baik sebagai bentuk apresiasi dan penghargaan terhadap
inisiator salam. Firman Allah SWT : “Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan,
maka balaslah penghormatan itu dengan lebih baik, atau balaslah (dengan yang
serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu”. (QS. 4:86)
Kristine Carlson dalam Don’t Sweat the Small Stuff for Women
(2001) mengkritik kebiasaan dan sikap sementara orang yang kurang arif dalam
menerima salam berupa pujian dan kata selamat dengan berbagai respon negatif
bahkan pasif, padahal kita dapat menyambutnya dengan ucapan “terima kasih”.
Dalam hal ini sunnah Nabi saw lebih jauh mendorong kebiasaan positif dalam
menyikapi ucapan salam dengan menjawabnya tidak sekadar “terima kasih” tetapi
memberikan ucapan selamat kembali kepada penyampai dan orang yang
mengucapkannya minimal setara bobot ucapannya.
Esensi prosedur salam dalam syariat Islam yang berupa
tatacara memberi salam yaitu orang yang berkendaraan lebih dulu memberi salam
kepada yang berjalan, yang berjalan memberi salam kepada yang duduk, jama’ah
yang sedikit memberi salam kepada yang lebih banyak, yang muda memberi salam
kepada yang lebih tua sebagaimana hadits dalam riwayat Muttafaq ‘Alaih
mengajarkan kepribadian rendah hati dan peduli etika pergaulan dengan memahami
posisi diri dan orang lain serta tanggap terhadap ekspresi menghargai orang
lain sebagai point entry untuk dihargai dan media perekat hubungan sosial
sehingga lahir keshalihan yang memancarkan akhlaq yang baik (khiyarukum
ahasinukum akhlaqan).
Persoalan fiqih yang kadang mengganjal dalam manajemen salam
adalah salam antar jenis yang bukan mahram. Bila kita perhatikan teks-teks
dalil yang menganjurkan untuk menyebarkan salam pada dasarnya bersifat umum dan
tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan. Artinya, jika ada seorang
lelaki yang secara tulus ikhlas mengucapkan salam kepada seorang wanita, maka
wanita itu sesuai dengan nash Al-Qur’an wajib membalasnya dengan jawaban yang
lebih baik atau minimal yang serupa dan begitu pula sebaliknya. Dengan demikian
hijab gender tidak bisa mengoyak ajaran dan doktrin Salam serta filosofisnya.
Dalam hadits shahih diriwayatkan bahwa Ummu Hani binti Abi
Thalib berkata: “Saya mengunjungi Rasulullah pada tahun al-Fath (penaklukan
kota Mekah), ketika itu beliau sedang mandi sementara Fatimah, putrinya, sedang
menutupi tempat mandi beliau dengan tabir, lantas saya mengucapkan salam kepada
beliau, lalu beliau bertanya, ‘siapa itu?’ saya menjawab, ‘Ummu Hani binti Abi
Thalib’, kemudian beliau berkata, ‘selamat datang Ummu Hani’” (HR Bukhari dan
Muslim)
Ketika Rasulullah saw menyampaikan kepada istrinya Aisyah
bahwa malaikat Jibril mengucapkan salam kepadanya, maka ‘Aisyah ra. menjawab
salamnya dengan ucapan “wa’alaikum salam warahmatullah”.
Imam Ibnu Hajar meriwayatkan dalam Fathul Bari-nya hadits
Asma’ binti Yazid yang mengatakan bahwa Nabi saw pernah melewati kami kaum
wanita, lalu beliau mengucapkan salam kepada kami. Imam Ahmad juga meriwayatkan
dalam Musnad-nya bahwa ketika sahabat Mu’adz tiba di Yaman, ia didatangi
seorang perempuan dengan dua belas anaknya seraya mengucapkan salam kepada
Mu’adz.
Demikian yang ditunjukkan oleh Rasulullah dan para
sahabatnya tentang memberi salam kepada kaum wanita atau sebaliknya meskipun
terdapat sebagian ulama yang mensyaratkan kebolehan itu dengan kondisi ‘aman
dari fitnah’ seperti Imam Al-Hulaimi dan Al-Mihlab. Dari sumber-sumber di atas
dapat disimpulkan bahwa sebagian besar ulama zaman dahulu tidak mengharamkan
mengucapkan salam kepada wanita, khususnya jika laki-laki itu berkunjung ke
rumah si wanita untuk urusan tertentu yang syar’i, untuk mengobati, mengajar,
dsb. Berbeda dengan wanita yang bertemu dengan laki-laki di jalan umum, maka si
lelaki sebaiknya tidak mengucapkan salam kepada wanita, kecuali jika antara
mereka ada hubungan yang kuat, seperti hubungan nasab, kekeluargaan, semenda,
dll. Sedangkan alasan yang paling kuat yang dijadikan sandaran oleh golongan
yang melarangnya adalah karena ‘takut fitnah’ yang sudah seyogyanya dijaga oleh
setiap muslim semampu mungkin untuk menjaga kesucian agamanya dan
kehormatannya. Hal itu, sebenarnya, pangkal tolaknya adalah hati nurani dan
daya tahan iman seorang muslim itu sendiri, karena itu hendaklah ia bertanya
pada dirinya sendiri.
Dalam persoalan kasus salam antar beda jenis yang bukan
mahram beberapa hal yang perlu diperhatikan agar terjaga kemurniaan dan
efektivitas positifnya adalah bahwa salam itu diucapkan ataupun disampaikan
dalam kerangka birr wat taqwa (kebajikan dan ketakwaan), salam itu tepat waktu
dan kondisi, salam itu dilandasi ketulusan ikhlas dan aman dari potensi fitnah.
Dalam konteks ini, pendapat kalangan yang mengatakan bahwa
suara wanita itu aurat sehingga mutlak tidak boleh ada kontak komunikasi antar
jenis adalah tidak relevan karena tidak adanya dalil khusus yang melandasi
pelarangan tersebut dan tidak ada seorang pun ulama mu’tabar (eligible) yang
berpendapat begitu. Bagaimana dikatakan suara wanita itu aurat, sedang Allah
berfirman: “… apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka
(istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir…” (Al-Ahzab:53).
Ini berarti bahwa mereka, para istri nabi, menjawab
permintaan tersebut dari belakang tabir. Demikianlah yang biasa dilakukan
Aisyah dan Ummul Mu’minin lainnya, menjawab pertanyaan, meminta sesuatu dan
meriwayatkan hadits serta menceritakan sisi-sisi kehidupan Rasulullah, padahal
semestinya aturan yang berlaku atas mereka lebih ketat dan lebih berat daripada
wanita lainnya. Sebaliknya, banyak pula kaum wanita yang bertanya dan berbicara
di majelis terbuka Nabi saw. Betapa banyaknya peristiwa sejarah yang tidak terhitung
jumlahnya pada zaman Nabi saw dan sahabat, yang menunjukkan bahwa kaum wanita
dapat dan biasa berbicara dengan kaum laki-laki, berdialog, berdiskusi,
mengucapkan dan menjawab salam. Tidak seorang pun yang berkata kepada wanita,
‘diamlah, karena suaramu itu aurat’.
Seni memberi dan menjawab ucapan selamat dalam manajemen
salam merupakan salah satu bentuk setoran efektif untuk bank emosi kita dalam
kebiasaan proaktif untuk menarik simpati orang lain dan membina berbagai
hubungan sebagaimana ditegaskan Stephen R. Covey dalam The 7 Habits of Highly
Efective Families (1999). Bahkan menurutnya sebagai media sinergi untuk
mewujudkan sistem kekebalan keluarga perlu dihidupkan budaya kreatif ucapan
selamat sebagai bagian implementasi lima cara mengekspresikan cinta yaitu; 1.
berempati, 2. berbagi rasa, 3. meyakinkan dan motivasi, 4. berdoa, 5.
berkorban.
Jangan pernah melewatkan satu kesempatan dari peristiwa
apapun yang dialami oleh orang-orang yang kita kasihi atau kita kenali untuk
memberikan salam yang dapat menyumbangkan rasa kebahagiaan dan motivasi pada
mereka sebagai suatu pengikat batin yang dahsyat sekaligus amal yang sangat
mulia sebagaimana sabda Nabi saw yang mengatakan bahwa sebaik-baik amal adalah
memberikan rasa kebahagiaan pada hati orang lain. Sesuatu yang remeh dan kecil
bukan sebagai alasan untuk kita lewatkan meskipun hanya menulis satu coretan
kecil, satu baris pesan melalui SMS, satu kalimat telepon, satu, satu kartu
ucapan selamat yang sederhana, kalau hal itu memang dapat memberikan kebahagiaan
orang lain, bukankah Nabi saw melarang kita untuk meremehkan dan tidak
menghiraukan hal-hal positif apapun sekalipun remeh dan kecil.
Dalam optimalisasi fungsi manajemen salam dan untuk
mengetahui secara proaktif momentum yang tepat bagi ekspresi salam, agar
menjadi salam yang efektif maka diperlukan proses pembelajaran, pengenalan dan
saling memahami (tafahum) antar kekasih, sahabat dan relasi. Barbara De Angelis
dalam The 100 Most Asked Questions About Love, Sex and Relationships menekankan
pentingnya kerjasama dan keyakinan bersama bagaimana perasaan cinta
diekspresikan secara benar sehingga dapat membahagiakan pasangan dan sahabat.
Oleh karena itu kita perlu ‘ngeh’, ‘ngerti’ dan tahu (ta’aruf) hari-hari,
momentum dan saat-saat yang tepat untuk memberikan ucapan dan ungkapan selamat
kepada orang-orang sekitar kita. Dan kita harus arif dalam memilih kata, media
dan cara penyampaian salam agar tidak mengurangi keberkahan dan efektivitas
salam. Wallahu A’lam Wa Billahit Taufiq Wal Hidayah.